Implementasi Undang-Undang ITE dalam Kebebasan Berekspresi

Jejak Digital, Suara Publik: Dilema UU ITE dan Kebebasan Berekspresi

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hadir sebagai payung hukum untuk mengatur ruang digital Indonesia, bertujuan menciptakan lingkungan siber yang aman, tertib, dan bebas dari kejahatan. Namun, implementasinya kerap menimbulkan perdebatan sengit terkait batas-batas kebebasan berekspresi, sebuah hak fundamental dalam negara demokrasi.

Beberapa pasal dalam UU ITE, terutama terkait pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3) dan penyebaran berita bohong atau kebencian (Pasal 28 ayat 2), seringkali dianggap ‘pasal karet’. Interpretasinya yang luas dan subjektif berpotensi menjerat individu yang sekadar menyampaikan kritik atau opini, bahkan yang berbasis data. Hal ini menciptakan ‘efek gentar’ (chilling effect), di mana masyarakat menjadi enggan untuk bersuara atau mengemukakan pandangannya di ruang digital karena khawatir akan jerat hukum.

Di sisi lain, UU ITE juga memiliki peran penting dalam memerangi kejahatan siber seperti penipuan online, penyebaran konten ilegal, dan ujaran kebencian yang merusak tatanan sosial. Tantangannya adalah menemukan titik keseimbangan agar perlindungan hukum tidak justru membungkam suara-suara kritis dan produktif.

Keseimbangan antara perlindungan ruang digital yang aman dan jaminan kebebasan berekspresi adalah kunci. Implementasi UU ITE harus dilakukan dengan sangat hati-hati, mengedepankan asas proporsionalitas, dan tidak boleh menjadi alat untuk membungkam kritik atau perbedaan pendapat. Tujuannya bukan membatasi suara, melainkan menjaga agar setiap jejak digital tetap bermakna tanpa melukai hak asasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *