Kotak Suara di Persimpangan: Gaya Pemilu dan Nadi Kerakyatan di Negara Berkembang
Pemilu adalah jantung demokrasi, namun di negara-negara bertumbuh, gaya pelaksanaannya dan implementasi kerakyatan seringkali berada di persimpangan jalan yang kompleks. Di banyak negara berkembang, pemilu bukan sekadar pertarungan ideologi atau program kerja, melainkan kerap diwarnai praktik clientelism (politik uang), primordialisme (identitas suku/agama), dan kultus individu yang kuat.
Institusi penyelenggara pemilu dan penegak hukum yang belum sepenuhnya independen dan kuat menjadi celah bagi manipulasi, kecurangan, atau bahkan intimidasi. Edukasi politik masyarakat yang masih rendah juga memudahkan penyebaran disinformasi dan janji-janji populis yang seringkali tidak realistis. Akibatnya, pilihan pemilih bisa jadi didasari faktor pragmatis jangka pendek, loyalitas kelompok, atau bahkan paksaan, bukan pada visi kepemimpinan yang transformatif.
Gaya pemilu semacam ini berdampak langsung pada kualitas kerakyatan atau kedaulatan rakyat. Alih-alih melahirkan pemimpin yang responsif terhadap kebutuhan publik, yang muncul bisa jadi elit yang berkuasa karena kekuatan finansial, mobilisasi massa semu, atau jaringan patronase. Kepercayaan publik terhadap proses demokrasi melemah, partisipasi substansial berkurang, dan agenda pembangunan seringkali terpinggirkan demi kepentingan politik jangka pendek. Kedaulatan rakyat menjadi sekadar formalitas, bukan substansi yang menggerakkan roda pemerintahan dan memastikan akuntabilitas.
Mewujudkan pemilu yang adil dan transparan, serta kerakyatan yang otentik di negara-negara bertumbuh, adalah tantangan besar. Ini memerlukan penguatan institusi, edukasi politik berkelanjutan, partisipasi aktif masyarakat sipil, dan komitmen kuat dari elit politik. Hanya dengan demikian, kotak suara benar-benar menjadi cerminan kehendak rakyat, bukan sekadar arena perebutan kekuasaan.