Pemekaran Daerah: Akselerasi atau Distorsi Layanan Publik?
Kebijakan pemekaran daerah, atau pembentukan daerah otonom baru (DOB), selalu dilandasi tujuan mulia: mendekatkan pelayanan publik, mempercepat pembangunan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah yang dianggap terpencil atau kurang terjangkau. Secara teoretis, pemekaran dapat memperpendek rentang kendali, membuat birokrasi lebih responsif, identifikasi kebutuhan lokal lebih akurat, dan alokasi sumber daya lebih tepat sasaran. Hasilnya diharapkan adalah pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan, infrastruktur) yang lebih merata dan berkualitas.
Namun, realitasnya tak selalu sejalan. Pemekaran membutuhkan investasi besar, baik untuk infrastruktur administratif maupun operasional. Seringkali, daerah baru kekurangan sumber daya manusia (SDM) aparatur yang kompeten dan berpengalaman, sehingga kualitas pelayanan publik justru bisa stagnan atau bahkan menurun. Fokus pada pembangunan gedung dan struktur organisasi seringkali mengesampingkan kebutuhan esensial masyarakat. Efisiensi birokrasi juga terhambat oleh proses konsolidasi yang panjang dan tumpang tindih kewenangan di awal pembentukan. Potensi penyalahgunaan anggaran untuk kepentingan politik atau personal juga menjadi bayang-bayang yang merusak tujuan mulia ini.
Pemekaran daerah adalah pedang bermata dua. Potensinya besar untuk akselerasi pembangunan dan pelayanan, namun keberhasilannya sangat tergantung pada kajian komprehensif, kesiapan sumber daya (finansial dan manusia), tata kelola pemerintahan yang baik, serta komitmen kuat untuk melayani, bukan sekadar memekarkan. Tanpa itu, pemekaran hanya akan menjadi beban baru bagi negara dan masyarakat, menciptakan distorsi daripada akselerasi layanan publik.